PROFIL: Kilas Balik Liverpool 1989/90


Akhir dari kejayaan sebuah klub legendaris Inggris. Musim 1989/90 seolah menjadi edisi penutup kehebatan Reds yang fenomenal.

Bagaimana tidak. Sejak itu, Liverpool tak pernah lagi bertahta di kancah sepakbola Inggris. Terutama setelah Manchester United melakukan ‘kudeta’ merangkak saat melakukan pembaruan dengan mendatangkan Alex Ferguson untuk menggantikan Ron Atkinson pada 1986.

Berakhirnya kekuasaan Liverpool ditandai dengan pergantian kompetisi dari Football League First Division menjadi Premier League atau Liga Primer Inggris pada 1992/93.


Pada musim itu pula, MU mencatat sejarah sebagai tim pertama yang memenangi gelar Liga Primer sekaligus menandai ‘kudeta’ terhadap Liverpool. Dan, Pools tak pernah kembali berkuasa untuk menjadi nomor satu di Liga Primer.

Berbagai trofi memang masih terus diraih. Liverpool kembali memenangi Liga Champions, Piala UEFA, Piala Carling, namun gelar juara Liga Primer tak lagi singgah ke Anfield.

Karena itu, musim 1989/90 masih menjadi seri terakhir episode kegemilangan Reds. Sebuah episode kompetisi yang diawali dengan mimpi buruk tragedi Hillsborough.

Tragedi 15 April 1989 saat Liverpool bertemu Nottingham Forest di semi-final Piala FA di Stadion Hillsborough milik Sheffield Wednesday. Tercatat 96 suporter Liverpool tewas akibat terjebak dalam kerumunan massa yang kemudian dikenal sebagai Hillsborough Disaster.

“Saya tidak akan pernah melupakan 15 April 1989. Bahkan saya tak bisa meski hanya sekadar mengingat nama Hillsborough apalagi mengucapkannya dengan mengabaikan memori buruk yang mengikutinya. Memori ini akan terus terbayang dalam sisa hidup saya,” kata Kenny Daglish, manajer merangkap pemain Liverpool saat itu.

Daglish menjadi manager-player tersukses saat menangani Liverpool pada 1985-1991. Dengan menyisakan tragedi Hillsborough, Daglish sukses mempersembahkan gelar juara Divisi Satu pada musim 1989/90.

Saat itu, Liverpool mendapat perlawanan dari Aston Villa yang sempat merebut posisi puncak klasemen. Meski Villa termasuk rival utama, namun saat itu Reds sesungguhnya lebih memperhitungkan Arsenal yang berstatus juara bertahan. Berikutnya, rival dari tetangga satu kota, Everton, Manchester United dan Tottenham Hotspur.

Meski menghadapi keroyokan karena menjadi 'klub paling dibenci', namun tak ada yang memungkiri Liverpool saat itu tengah mencapai puncak performa. Bahkan, skuad itu termasuk terbaik yang pernah dimiliki Liverpool.

Para pemain yang diboyong Daglish seperti Peter Beardsley (foto), John Barnes, Ray Houghton, Alan Hansen, Ronnie Whelan, Steve McMahon, Mark Lawrenson dan Steve Nicol membentuk Liverpool sebagai dream team.

Apalagi, mereka kembali diperkuat Ian Rush yang sebelumnya membela Juventus. Banyak yang menyebutkan Rush frustrasi di Juve sehingga tak mampu menunjukkan performa terbaik di Serie A Italia. Terbukti, ia hanya bertahan selama 15 bulan sebelum balik ke Liverpool.

Kenyataannya, striker asal Wales ini justru bahagia di Juve dan mampu mencetak 14 gol. Lalu mengapa ia memilih meninggalkan Juve?

“Saya sesungguhnya bahagia di sana [Juve]. Tapi, Kenny Daglish menelepon dan menawari saya untuk kembali. Jarang ada yang diberi kesempatan untuk kembali. Lagipula, saya benar-benar merindukan suasana di Liverpool,” ungkap Rush yang kembali ke Liverpool pada 1988.

Kepulangan Rush membuat John Aldridge tersingkir. Padahal, Aldridge direkrut dari Oxford United pada 1987 untuk menggantikan Rush. Meski sempat mempertahankan Aldridge, namun Daglish terpaksa melegonya ke Real Sociedad.

Dengan tim yang makin matang, Daglish hanya merekrut bek Glenn Hysen dari Fiorentina dan Steve Harkness dari Carlisle. Hysen kemudian menjadi salah satu pilar kekuatan lini belakang selama empat musim di Reds.

Meski demikian, dream team Liverpool sempat direpotkan oleh Villa yang memang memberi perlawanan ketat. Bahkan mereka sempat memuncaki klasemen pada April.

Namun, Liverpool langsung tancap gas dan mengejar ketinggalannya. Hasilnya, mereka menutup musim kompetisi dengan keunggulan sembilan poin dari Villa.

Liverpool juga mengukir prestasi sebagai tim paling produktif sekaligus paling sedikit kebobolan. Mereka bisa mencetak 78 gol. Unggul jauh dari Villa yang hanya mampu 57 kali membobol gawang lawan.

Barnes mencapai kegemilangan dengan menjadi top skor klub setelah mengoleksi 22 gol. Disusul Rush dengan 18 gol dan Beardsley di urutan ketiga dengan koleksi sepuluh gol.

Musim tersebut sekaligus mengakhiri era Daglish sebagai pemain. Ia menutup karir sebagai pemain dengan sangat manis saat masuk menggantikan Jan Molby menit ke-71 pada pertandingan pamungkas liga di kandang sendiri melawan Derby County, 1 Mei 1990.

Pertandingan yang tak berarti lagi karena Liverpool sudah memastikan juara liga. Daglish mengakhiri musim dengan meraih penghargaan sebagai manajer terbaik untuk ketiga kalinya.

Hanya, kegemilangan Liverpool bukannya tanpa cacat. Tim terbaik Divisi Satu justru dipermalukan tim papan bawah Crystal Palace di semi-final Piala FA. Menghadapi tim yang baru promosi, Liverpool sesungguhnya difavoritkan melaju ke final.

Tanda-tanda bakal menang makin terlihat saat Rush mencetak gol pada menit ke-14. Kenyataannya, Palace mampu membalikkan keadaan dan unggul 4-3 melalui pertarungan yang dramatis.

Menariknya, Liverpool secara tidak langsung menyerahkan kekuasaan kepada MU yang saat itu menjadi juara Piala FA setelah mengalahkan Palace. Ini merupakan gelar pertama Ferguson di Old Trafford.

Ironisnya, Liverpool hanya bisa menyaksikan MU berlaga di kompetisi Eropa, Piala Winners. Sementara, mereka yang berstatus juara liga terpaksa absen karena masih menjalani larangan bermain di kompetisi Eropa. Saat itu, Liverpool kembali absen di Piala Champions.

Dan, mereka pantas geregetan karena MU justru mengukir sejarah menjadi juara Piala Winners dengan mengalahkan Barcelona 2-1.
Sebuah akhir yang manis sekaligus awal yang pahit bagi Liverpool karena sejak itu mereka tak pernah lagi mencicipi trofi Liga Inggris.
MU yang memimpin pada orde baru Liga Primer.


Tidak ada komentar untuk "PROFIL: Kilas Balik Liverpool 1989/90"